Nama Allah Hanya untuk Umat Islam

Beberapa waktu lalu, saudara seakidah kita di Malaysia bersyukur atas keputusan Pengadilan Tingkat Banding Malaysia yang menerima gugatan pemerintah terkait dengan larangan penggunaan kata Allah untuk kalangan Kristen. Salah satu pihak Kristen yang menyayangkan keputusan tersebut adalah media Katholik, The Herald, dan berencana untuk menempuh jalur hukum. Kita pun lantas menjadi bertanya-tanya, tepatkah penggunaan kata “Allah” sebagai nama tuhan di kalangan non-Islam, utamanya Kristen?

Penyebutan Nama Tuhan di Berbagai Wilayah di Dunia

Penyebutan nama tuhan oleh kaum Zulu di Afrika Selatan barangkali cukup mengagetkan kita. Tuhan Yang Maha Kuasa mereka sebut dengan istilah “Umvelingangi”, yang apabila dilafalkan secara tepat akan terdengar seperti “Walla-hu-gani” atau “Dan Allah Maha Kaya”. Di Hindi, kata untuk menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa adalah “Pramatma”. Dalam bahasa Sanskrit, “Atma” berarti jiwa, dan “Pram-atma” bermakna Jiwa Besar dan Suci, atau Jiwa Suci. Sementara itu, konsep Barat (Anglo-Saxon dan Teuton) mendefinisikan tuhan dengan sebutan GOD (Inggris), GOT (Afrikaans), GOLT (Jerman), GUDD (Danish, Swedia, Norwegia). Bangsa Latin menyebut nama tuhan dengan sebutan “Deus”, dan bangsa Israel menyebut nama tuhannya dengan sebutan “EL” atau Adonai. Bangsa Yahudi juga dikenal menyebut tuhannya dengan istilah “Yahweh” (YHWH).

Bagaimana Yesus dan Bangsanya Menyebut Tuhannya?

Penyebutan nama tuhan oleh Yesus dapat kita simak bersama dalam Matius 27:46. Ketika Yesus berada di atas salib dan dalam kondisi yang kritis, ia menyeru “Eli, Eli, lama sabakhtani? Artinya, Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

Yesus menggunakan kata “E’li” yang dalam kenyataan adalah “Allah” yang sama dengan kitab suci Alquran. Dalam kitab Wahyu 19:19 juga disebut “Alleluyah, Alleluyah” yang merupakan terminologi Aramaik dan Yahudi. Istilah ini, ketika diucapkan dan dilafalkan dalam bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam Alquran, akan menjadi “Ya Allahu”, “Ya Allahu”, yang berarti “Ya Allah”. Jadi, “Alleluyah” artinya “Ya Allah”, meskipun umat Kristen hari ini akan memaknainya sebagai “Sampaikan kepadaNya doa”. Sementara itu, istilah “Yahweh” yang digunakan orang Yahudi untuk menyebut nama tuhannya, merupakan gabungan atas dua frase “Ya” dan “Hwe”. “Ya” bermakna “Ya / Wahai”, sedangkan “Hwe” bermakna “Dia”. Itu sebabnya, orang-orang Yahudi ketika mereka mengatakan “Yahwe” atau yang dalam bahasa Arab “Ya Huwa”, maka kata-kata itu hanya akan berarti untuk memanggil Tuhan Pencipta mereka dalam “pelafalan-Nya” daripada nama sesungguhnya. Bagi mereka, nama sesungguhnya dari tuhan mereka adalah “EL/ ELO/ ELOHIM” yang dalam bahasa Arab menjadi Allah dan Allahumma. Dari penyebutan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dalam bahasa Musa, Yesus, dan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, nama Tuhan Yang Maha Kuasa adalah ALLAH. Dan sampai di sini, kita tahu, bahwa, satu-satunya umat manusia yang teguh menjalankan risalah tauhid yang dibawa nabi-nabi terdahulu hanyalah umat Islam. Meskipun umat Kristen mengaku menjalankan risalah Yesus, justru, yang ia jalankan adalah apa yang diajarkan Paulus (baca tulisan saya di beberapa edisi yang lalu yang berjudul “Paulus Perombak Ajaran Yesus”). Maka, jelaslah bahwa asma Allah hanya untuk umat Islam.

Umat Kristen Tidak Konsisten

Kalau kita menilik bagaimana kitab suci umat Kristen menyebut nama tuhannya, kita akan memperoleh suatu penyimpulan bahwa umat Kristen tidak konsisten dalam menggunakan nama tuhan. Bagaimana tidak? Ketika Bibel dengan berbagai versi di dunia menggunakan istilah “GOD” , “FATHER” , dan “LORD” untuk menyebut tuhan, justru, Bibel yang beredar di Indonesia dan Malaysia menggunakan nama “ALLAH” yang juga ditujukan untuk menamai siapa yang disebut “TUHAN” atau “BAPA” itu. Se-mayoritas apapun umat Islam di Indonesia dan Malaysia, umat Islam tidak pernah memaksa umat Kristen untuk menyebut Tuhan dengan asma “ALLAH” Yang terjadi justru sebaliknya. Penggunaan istilah-istilah Arab disematkan dalam agama Kristen dengan tujuan pemurtadan. Minimal, liberalisasi akidah. Bukan kali ini saja mereka “meminjam” nama untuk menyebut tuhan, karena ketika di seluruh dunia kitab suci umat Kristen disebut dengan “Bible”, justru, di kedua negeri Muslim ini, kitab suci umat Kristen disebut terang-terangan dengan istilah “Alkitab”. Apa tujuannya? Tidak lain untuk mempropagandakan bahwa “semua agama adalah sama” dan “semua kitab suci pada hakikatnya adalah sama”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar